Jumat, 13 Maret 2015

Makam Raga Semangsang di Alun-alun Purwokerto


Bagi anda yang pernah berkunjung ke Purwokerto tentunya sudah tidak asing lagi dengan Alun-alun Purwokerto. Ya, alun-alun Purwokerto merupakan salah satu tempat yang menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk mengunjungi Purwokerto apalagi belum lama ini alun-alun Purwokerto telah direnovasi dan dengan adanya tambahan pancuran atau air mancur, alun-alun kini terlihat semakin indah dan pengunjungnya pun semakin banyak.

Untuk postingan kali ini saya tidak membahas tentang bagaimana alun-alun Purwokerto terbentuk, yang saya bahas kali ini adalah situs unik yang berada di tengah jalan yang berada di sebelah timur Kantor Bupati dekat alun-alun Pirwokerto. Situs unik itu adalah Makam Raga Semangsang yang dalam Bahasa Indonesia berarti "tubuh yang temangsang atau tersangkut".

Lokasinya sangat unik, berada di tengah pertigaan Jalan Kabupaten dengan Jalan Raga Semangsang. Karena lokasinya yang unik itu pula saya awalnya tidak menyadari bahwa bangunan setinggi 1 meter berbentuk persegi panjang 2 x 1 meter yang dilindungi tembok tersebut merupakan makam, padahal setiap hari saya melewati makam itu ketika berangkat sekolah di SMK N 2 Purwokerto.

Memang, apabila tidak memperhatikannya dengan baik mungkin tidak ada yang mengira jika itu adalah makam. Sebab dengan hanya ada satu pintu besi setinggi 50 cm di salah satu sisinya, makam Raga Semangsang juga tidak bernisan ataupun memiliki penanda di bagian luarnya.

Mengenai sejarahnya, masyarakat sekitar memiliki dua versi yang berbeda mengenai keberadaan makam tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa Raga Semangsang adalah pejuang di masa penjajahan yang terjun payung akan tetapi tersangkut di pohon hingga meninggal.

Sedangkan pada versi yang lain, ada yang menyebutkan bahwa dirinya adalah orang "pintar" atau sakti. Raga Semangsang tewas karena berkelahi dengan Kyai Pekih, jawara asal Banyumas.

Menurut buku Banyumas Wisata dan Budaya karya M. Koderi cetakan tahun 1991, Makam Raga Semangsang adalah makam orang sakti yang tewas akibat berkelahi dengan Kyai Pekih.

Di suatu hari, daerah yang tadinya aman dan tentram itu tiba-tiba geger tidak seperti hari biasanya. Gonjang ganjing yang terjadi karena ada maling sakti yang ilmunya tidak sembarangan himgga warga sekitar tidak dapat menangkapnya. Kyai Pekih yang sakti itu pun tidak tinggal diam, dan akhirnya ikut turun tangan menyelesaikan masalah yang terjadi.

Kyai Pekih pergi sendirian di malam hari memutari kampungnya. Maling yang terkenal sakti akhrinya dapat ditangkap oleh Kyai Pekih di persimpangan jalan, Kyai Pekih dan maling sakti ini beradu kekuatan di tempat itu. Karena Kyai Pekih ilmunya lebih sakti akhirnya maling itu dihajar sampai mental jauh dan mati tersangkut di salah satu pohon, akhrinya tubuhnya dikubur di bawah pohon tersebut yang sekarang disebut "Makam Raga Semangsang".

Pemerintah Banyumas sempat ingin memindahkan makam tersebut dikarenakan mengganggu namun niatan tersebut batal. Pada tahun 1990-an kerap ada yang berkunjung dan masuk ke makam tersebut setiap malam Jum’at Kliwon dan malam 1 Suro.

Sayangnya kini situs tersebut penuh coretan cat semprot dari tangan yang tidak bertanggung jawab.
Cukup sekian untuk postingan kali ini, Terima Kasih telah berkunjung.

Minggu, 15 Februari 2015

Sejarah Baturaden


Untuk postingan kali ini saya akan share tentang Baturaden. Ya, Baturaden adalah salah satu lokawisata di daerah Kabupaten Banyumas. Jika anda berkunjung ke Kabupaten Banyumas, kurang lengkap rasanya kalau tidak mengunjungi Baturaden karena tempatnya sangat indah dengan udara yang sejuk, saya yakin anda akan senang jika berkunjung ke Baturaden. Namun, dibalik keindahannya itu Baturaden juga menyimpan sejarah di dalamnya.

Menurut sejarah, dahulu kala di tanah Jawa ada seorang pemuda bernama Suta. Nah, Sura ini ternyata adalah seorang pembantu di Kadipaten Kutaliman, Banyumas, Jawa Tengah. Tugasmya adalah merawat kuda dan membersihkan istal (kandang kuda) milik Adipati Kutaliman.

Suta merupakan sosok pekerja keras dan jujur. Pada suatu hari, seperti biasa setelah mengurus kuda Adipati Kutaliman, Suta berkeliling Kadipaten. Kadipaten yang luas tentu tidak dapat ia kelilingi dalam satu kali perjalanan. Maka dari itu, setiap hari Suta akan berjalan di lokasi berbeda.
        
Suta baru saja melewati sebuah pohon mangga ketika ia mendengar jeritan seorang perempuan. Dia pun berlari menuju sumber suara. Tampaklah seekor ular besar di balik pohon mahoni sedang membuka lebar-lebar rahangnya dan siap memangsa seorang perempuan di hadapannya.

Tanpa berpikir panjang Suta bergerak maju mendekat danberusaha menolong perempuan yang tak berdaya itu. Pengurus kuda Adipati ini memang bukan seorang pemain pedang yang hebat, tetapi tekad kuat melawan ular besar itu membuatnya berani menghadapi ular itu. Dengan susah payah, sabetan pedangnya akhirnya berhasil mematikan ular itu.

Seketika pula perempuan yang hampir dimangsa ular itu jatuh tergolek dan pingsan di tanah. Seorang emban (inang pengasuh) membopongnya ke sisi pendopo tak jauh dari pohon mahoni. Suta mendatanginya, namun ia terkejut ketika mengetahui siapa yang telah dia selamatkan tadi. Ternyata perempuan tersebut adalah putri Adipati Kutaliman.

Sebagai salah satu penghuni kadipaten, Suta sebelumnya sudah sering mendengar tentang kecantikan dan kehalusan budi pekerti putri Adipati. Tetapi, tak pernah jua dia bertemu. Dia sangat bahagia dapat bertatapan langsung dengannya. Sang putri sangat berterima kasih pada Suta yang telah menyelamatkan nyawanya.

Sejak peristiwa tersebut, Suta dan putri Adipati menjadi akrab. Mereka sering bertemu dan mengobrol. Lama-kelamaan mereka menjadi saling menyayangi. Hingga akhirnya Suta memberanikan diri melamar sang putri kepada ayahnya, Adipati Kutaliman.

Adipati sebelumnya sudah mendengar kabar kedekatan putrinya dengan Suta. Namun, dia tak mengira Suta akan nekat melamar putrinya, mengingat status sosial keduanya yang jauh berbeda. Ketika suta mengutarakan niatnya, Adipati murka. Dia merasa terhina. “Kau ini seorang batur (pembantu). Tak pantas kau berdampingan dengan putriku,” katanya.
Kemudian Adipati memerintahkan pengawal untuk memenjarakan abdinya tersebut di penjara bawah tanah. Suta dinilai lancang karena berani meminang putri Adipati.

Mengetahui hal itu, sang putri pun sedih. Dia tak menyangka bila ayahnya akan sangat marah. Apalagi Suta tak pernah di beri makan dan minum selama ia berada di dalam penjara yang lembab, gelap dan, pengap. Hatinya perih mengetahui pria yang dicintainya itu menderita.
               
Putri Adipati kemudian menyusun rencana. Dia meminta bantuan seorang emban kepercayaannya untuk mengeluarkan Suta dari penjara bawah tanah. Sementara itu ia menunggu bersama kudanya di salah satu sisi di Kadipaten. Rencana pun dilaksanakan pada suatu malam, si emban mengendap-endap menuju penjara bawah tanah. Dia berhasil melewati penjaga yang tertidur karena memakan kue yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Emban pun menemui Suta.
               
Di dalam sel, Suta terkapar lemah. Badannya yang semula kurus menjadi makin kurus. Dia juga menggigil. Emban memberinya pakaian. Mereka kemudian keluar dan mendatangi putri Adipati yang sudah berpakian layaknya warga desa.

Suta dan Putri menaiki kuda dan melaju ke luar Kadipaten. Untunglah malam itu sangat gelap pekat sehingga sulit mengenali mereka berdua. Putri memacu kudanya semakin kencang.  Dia mengarahkan kudanya kearah selatan lereng Gunung Selamet.

Ketika hari beranjak siang, mereka lelah dan beristirahat di dekat sungai. Putri baru menyadari bahwa Suta sedang sakit demam, dia pun merawat suta dengan penuh kasih sayang. Karena kesabarannya, Suta pun berangsur pulih.

Suta dan Putri menyukai lokasi tempat mereka berada. Hawa yang sejuk serta pemandangannya yang asri membuat mereka jatuh cinta. Akhirnya mereka menikah dan membina keluarga di sana. Kini tempat tersebut di kenal dengan nama Baturaden yang artinya pembantu dan bangsawan.

Begitulah sejarah awal Baturaden, cukup sekian untuk postingan kali ini. Terima kasih telahberkunjung.

Jumat, 13 Februari 2015

Sejarah atau Asal Mula Mendoan


Baiklah untuk postingan kali ini saya akan membahas tentang Mendoan. Ya, bagi anda yang pernah mengunjungi Kabupaten Banyumas tentunya tidak asing lagi dengan makanan khas Kabupaten Banyumas yang satu ini.

 Mendoan berasal dari kata "mendo" (Bahasa Banyumas) yang berarti lembek. Jadi,  mendoan adalah tempe yang digoreng tidak kering dan masih lembek.

Tahun pertama kali terciptanya mendoan saya sendiri tidak tahu, asal mula terciptanya mendoan merupakan penemuan yang tidak disengaja. Sebelumnya, Purwokerto yang merupakan ibu kota Kabupaten Banyumas sebelum terkenal sebagai Kota Mendoan lebih dulu dikenal dengan sebutan Kota Keripik.

Untuk membuat keripik tempe yang kering, renyah, dan tidak berubah menjadi gelap dan kehitaman, masyarakat Banyumas membuatnya dengan cara menggorengnya dua kali. Keripik yang setengah matang disebut tempe mendo. Setelah itu baru kemudian digoreng kering hingga menjadi keripik.

Nah, pada saat setengah matang banyak masyarakat Banyumas yang mencicipinya dan ternyata banyak yang suka. Setelah itu mendoan menjadi semakin booming atau ngetren.

Namun seiring berkembangnya zaman, ukuran mendoan di kantin sekolah saya tercinta yaitu SMK N 2 Purwokerto semakin lama akan semakin mengecil karena dampak dari naiknya harga pangan. Untuk itu, sebagai penikmat mendoan marilah kita bersama-sama menyerukan "Save Mendoan!" agar ibu kantin mempertimbangkan lagi tentang fenomena menyusutnya ukuran mendoan :v

Sekian untuk postingan saya kali ini, terima kasih sudah berkunjung di blog saya.

Senin, 02 Februari 2015

Sejarah Kabupaten Banyumas


Halo pembaca sekalian, perkenalkan nama saya Rizki Indra Kusuma Fajri "asli wong Banyumas". Untuk postingan yang pertama ini saya akan sharing tentang kampung halaman saya yang sangat indah yaitu Banyumas. Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.

Pendiri Kabupaten Banyumas yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).

Diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tidak ada yang berani menghadap. 


Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.


Sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas. 


Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Mrapat. 

R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu. 

Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan  kepada semua saudaranya. 


Dengan demikian tidak salah apabila motto dan etos kerja Kabupaten Banyumas SATRIA. 

Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”.


Demikianlah sejarah singkat tentang Kabupatten Banyumas, semoga postingan ini dapat bermanfaat bagi embaca sekalian.